MEDIA MASSA DAN TANGGUNG JAWAB KEPADA PUBLIK

20 09 2008

I. PENDAHULUAN

Seorang pakar komunikasi senior Indonesia yang sudah meninggalkan kita, Almarhumah Prof. Dr. Astrid S. Susanto, mengritik habis kinerja media massa di Indonesia, khususnya kalangan pers dalam dengar pendapat Komisi I DPR dengan Dewan Pers. Beliau mengatakan bahwa, “Pers sekarang tak lebih baik dari zaman demokrasi liberal 1950-an yang dirasanya lebih beretika. Etika Pers sekarang sudah mulai menipis, banyak undang-undang yang dilanggar pers, masyarakat saja yang malas untuk nuntut” (Andrie, 2002).

Suara demikian tidak hanya disampaikan oleh seorang pakar komunikasi yang berusaha menilai tanggung jawab pers khususnya dan media massa pada umumnya. Media sudah melupakan tanggung jawab sebagai peran media publik untuk mendapatkan informasi dan saluran komunikasi yang menjunjung nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, hormat-menghormati, dan ketidakberpihakan pada kelompok tertentu. Semua orang, hampir dari seluruh kalangan masyarakat secara seragam sering mengatakan bahwa pers atau media di Indonesia sudah sangat kebablasan, terutama dalam mengekspresikan tentang prinsip kebebasan pers.

Semenjak era reformasi digulirkan, media massa memasuki era kebasan yang luar biasa. Pemerintah tidak lagi melakukan regulasi atas media dengan SIUP dan SIT, yang dulunya sangat sakral untuk didapatkan. Media dapat menuliskan dan menyampaikan apa saja kepada publik tanpa regulasi sensor. Setiap figur di masyarakat kalau itu memang mau diberitakan bisa di buka ruang-ruang pribadinya, dari mulai ruang tidur, halaman rumah, sampai ruang kantor yang sangat privat untuk ukuran konsumsi publik.

“As long as you can write you can be journalist” Kalimat sindiran itu disampaikan oleh salah seorang anggota Dewan dari Partai Amanat Nasional untuk menggambarkan pers indonesia yang tidak bertanggung jawab. Maksudnya, siapapun anda, sejauh bisa menulis dan memiliki saluran media, maka tulisan anda menjadi ”konsumsi” publik, anda menjadi seorang jurnalis yang tulisannya akan dibaca oleh orang atau masyarakat. Terlepas dari apakah informasi yang disampaikan oleh wartawan atau reporter itu, mendidik atau tidak mendidik, menyampaikan kejujuran atau hasutan, dan mengandung nilai-nilai keadilan atau keberpihakan.

Gambaran di atas menunjukkan kondisi krusial yang dihadapi oleh media massa dalam menjalankan fungsinya. Parlemen yang menggodok seluruh kebijakan untuk melakukan regulasi atas media atau pers telah memiliki tingkat kemarahan yang tinggi dengan kondisi sekarang. Pers sangat tidak bertanggung jawab, pers telah kebablasan, dan undang-undang atau aturan dibuat hanya untuk dilanggar.

Suara dari parlemen memang layak untuk diperhatikan dalam melihat kondisi media massa, yang berkaitan dengan tanggung jawab mereka terhadap khalayak. Jika opini serupa di lemparkan kepada khalayak untuk ditanggapi, mungkin akan mendapatkan suara pesersetujuan dengan jumlah suara mayoritas. Mengapa demikian, nampaknya kita mulai bosan dengan program atau acara televisi yang seragam hanya sekedar melihat rating yang tinggi pada stasiun lain, dengan tidak mengindahkan daya pikir dan rasionalitas publik. Setiap hari disuguhi isu, gosip, dan intrik kaum elit dan selebritis yang tidak pernah habis, dunia alam ghaib yang seolah-olah dapat ditangkap oleh panca indera, serta konflik kepentingan antar kelompok penguasa dengan drama parlemen yang disiarkan secara langsung melalui media.

Demikian pula dengan media massa cetak, seperti surat kabar yang mulai tidak mengindahkan etika dan perasaan pihak lain dalam melaporkan sesuatu. Hal ini seringkali menyulut permusuhan di tengah-tengah publik, bahkan tidak jarang merugikan surat kabar atau majalah itu sendiri, misalnya pihak yang merasa dirugikan menyerang dan menghancurkan kantor dari media yang bersangkutan seperti yang terjadi pada penyerangan kantor Tempo dalam kasus Tommy Winata yang telah lewat.

Menurut Lesmana, dalam tulisannya kondisi tanggung jawab pers dan media massa di Indonesia mendekati atau menyerupai pers liberal. ”Print it, and be damned”, beritakan dulu, urusan belakangan. Sikap demikian mencerminkan sikap mengentengkan permasalahan, etika dan hukum yang berlaku atau disebut dengan reckless disregard.

Salah satu bentuk yang sering terjadi dengan kasus demikian misalnya, kebiasan pihak media untuk mengabaikan perasaan objek pemberitaan dengan akibat sangsi sosial setelah pemberitaan. Dalam kasus pemboman di Bali misalnya seorang jenderal diduga terlibat. Tanpa melakukan recheck kepada jenderal yang bersangkutan berbagai media menyajikan berita itu, hanya dengan dugaan jenderal tersebut berada di Bali pada saat hari H pemboman. Akibatnya, keluarga korban mengalami shock dan salah satu anggota keluarganya jatuh sakit dan meninggal.

Sikap reckless disregard memperlihatkan gambaran ketidakmampuan media untuk bertanggung jawab atas peran dan fungsinya dalam menjujung tinggi nilai-nilai kearifan, kejujuran, dan ketidakberpihakan. Seyogyanya memerankan diri sebagai pendidik, pemberi informasi yang jujur, serta memeliharan kearifan budaya masyarakat.

Bentuk lain dari sikap reckless diregard media di Indonesia adalah kebiasaan mendongkrak atau mem-blow up berita tanpa menunjukkan fakta yang sebenarnya. Dalam hal ini media sering melansir berita bohong yang sama sekali tidak didukung oleh berita akurat. Dalam hal ini fabrikasi wartawan atau reporter terhadap peristiwa atau kejadian untuk meningkatkan daya tarik berita. Sebagai contoh kebiasaan menggunakan kalimat, ”menurut sumber yang layak dipercaya” atau menurut sumber yang tidak mau disebut namanya/identitasnya”, adalah bentuk dari lemahnya pertanggungjawaban terhadap fakta yang disajikan. Hal ini akan memunculkan kebiasaan seolah-olah fakta yang tersaji adalah benar walaupun siapa yang dapat dimintai keterangan atau klarifikasi atas fakta itu. Selanjutnya, bagi para wartawan yang ”nakal” kebiasaan seperti ini dapat dipakai sebagai bentuk rekayasa berita.

Hal lain yang menyebabkan kurangnya tanggung jawab media dalam melakukan pemberitaan pada masyarakat adalah, lemahnya penindakan hukum atas kesalahan atau kecerobohan yang dilakukan oleh oknum wartawan atau reporter. Bukti-bukti bahwa media telah melakukan pelanggaran dalam berbagai bentuk seperti penyajian fitnah, vonis oleh media (trial by the press), penyajian berita kekerasan yang berlebihan, dan pornografi baik secara verbal maupun visual sulit sekali dibuktikan secara hukum.

Perundang-undangan yang ada, UU No. 40 tahun 1999 dan Undang-undang Penyiaran tahun 2004, tidak mengatur secara tegas tentang delik penghinaan, pencemaran nama baik, pemberitaan kekerasan dan batasan-batasan tentang pornografi. Dalam UU Pers versi orde reformasi wartawan indonesia hanya bisa melakukan tiga hal kesalahan yaitu melanggar norma agama, norma susial, dan asa praduga tak bersalah.

II. TANGGUNG JAWAB MEDIA, TELUSURAN KONSEPTUAL-TEORITIS

Jika ditelusuri lebih jauh konsep tanggung jawab sosial media massa, asumsi dasarnya dikerangkai atau didefnisikan dari pemikiran rasionalisme tentang manusia. Manusia adalah ”zoon logon echon” menurut Aristoteles, yakni mahluk hidup yang mempunyai logos, sebagai sarana mencari dasar kenyataan (kebenaran). Selanjutnya Thomas Aquinas menyebutkan manusia sebagai ”Animale Rationale”, mahluk yang berfikir. Segala sesuatu yang bersifat manusiawi hanya dapat disebut manusiawi sejauh yang dihasilkan oleh dirinya berdasarkan fikiran.

Melalui fikirannya manusia dapat mengatur hidupnya selaras dengan kaidah-kaidah yang keahliannya dapat diuji sendiri (self evident). Melalui dasar rasio manusia akan mengetahui dirinya sendiri serta dunianya.

Dari akar filsafat resionalisme tersebut akhirnya dapat dikembangkan dalam menuntun tanggung jawab perilaku komunikasi manusia, dari lingkungan terkecil sampai terbesar seperti negara. Termasuk dalam hal ini upaya mengembangkan sistem komunikasi. Melalui kemampuan rasionya itu manusi akan berfikir tentang perbuatan dan akibat, hak dan kewajiban, serta pemilihan peran dan tanggung jawabnya.

Dengan berbekal rasionya, manusia akan mengembangkan persepsi untuk membedakan mana hal yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat. Dengan demikian, bekal rasio yang dimilikinya akan bertanggung jawab atas segala tindakan dan perbuatannya.

Dalam membangun sistem komunikasi manusia bertanggung jawab atas perilaku, kelembagaan, kebijakan komunikasnya. Oleh karena itu self regulation dan self censorship sebagai upaya self controlled atas komunikasi yang dilakukan juga berlaku dalam pengelolaan media.

Konsep tanggung jawab media atau media responsibility selalu digandengkan dengan social, sehingga menjadi social responsibility media, khususnya yang telah melahirkan empat sistem pers, Four Theories of the Press yang dikembangkan Siebert, Peterson, dan Schramm.

Menurut Severin and Tankard, Empat Teori Sistem Pers tersebut merupakan teori normatif (normative theory). Normatif teori adalah teori yang dikembangkan berdasarkan hasil observasi dari para peneliti, tanpa melakukan pengujian atau eksperimen tarhadap teori yang dikembangkan. Keempat teori normatif tersebut adalah; Authoritarian Theory, Libertarian Theory, Social Responsibility Theory, dan Soviet-Totalitarian Theory.

Dalam sudut pandang keempat teori tersebut, media massa atau pers memiliki beban tanggung jawab dan fungsi pelayanan yang berbeda-beda. Keempat teori tersebut menggambarkan tarik menarik di antara kepentingan pihak penguasa terhadap pers/media dengan kepentingan pers atau media itu sendiri.

Teori Otoriter yang berkembang pada abad 16-17 di kerajaan Inggris, merupakan sistem pengendalian media atau pers oleh kerajaan. Pers harus mengabdi kepada kepentingan kerajaan dan bertanggung jawab pada kerajaan atau pemerintahan. Oleh karena itu media massa tidak dibenarkan untuk melakukan kritik terhadap mesin-mesin politik atau pemilik kekuasaan.

Sementara itu di pihak lain, media massa yang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kepentingannya muncul dalam Teori Libertarian yang berkembang di Amerika Serikat dan sekitarnya. Media massa memiliki hak-hak yang luas dan berperan sebagai kelompok dengan keleluasaan yang istimewa dalam menjalankan peran sebagai ponyampai informasi, penghibur, dan yang ebih penting lagi melakukan kontrol terhadap kepentingan atau kebijakan pemerintah.

Media menurut teori ini hanya bertanggung jawab kepada pasar atau market, karena mereka hidup dan dihidupi oleh pasar. Namun demikian media tetap mengabdi kepada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran yang juga merupakan bentuk upaya kontrol secara mandiri atau self-righting process of truth.

Selanjutnya dalam tanggung jawab media menurut Teori Soviet Totalitarian adalah mengabdi kepada keberhasilan dan keberlanjutan sistem sosialis Soviet terutama pada kepentingan partai politik komunis. Sistem ini berkembang di negara Uni Soviet sebelum pecah, dan negara-negara komunis baik di Asia maupun Eropa Timur. Media menjadi abdi atau anggota loyal dan ortodoks dari partai komunis.

Sedangkan sistem pers yang sebenarnya menunjukkan konsep tanggung jawab media terdapat dalam sistem pers atau sietam media Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility). Konsep tanggung jawab media atau pers senantiasa digandengkan dengan kata sosial yang berupaya menunjukkan pada suatu konsep tentang kewajiban media untuk mengabdi terhadap kepentingan masyarakat.

Menurut Siebert, Peterson dan Schramm dalam Severin and Tankard, 1992), perbedaan esensial media dalam konsep atau teori tanggung jawab sosial adalah, ”media must assume obligation of social responsibility; and if they do not, someone must see they do.” Selanjutnya mereka menyatakan bahwa, media diawasi oleh opini komunitas, tindakan konsumen (consumer action), etika profesional, dan, dalam kasus media siaran oleh badan pengawas pemerintah karena keterbatasan teknis dalam jumlah saluran dan ketersediaan frekuensi.

Namun demikian, tanggung jawab media dalam teori tanggung jawab sosial sulit untuk dioperasionalkan, akibat rumitnya tarik ulur antara kepentingan pemerintah dan pemilik atau para jurnalis yang bergerak dalam media bersangkutan. Oleh karena itu, sistem ini berada di ambang kesemuan antara sistem otoriter dan libertarian. Maksudnya, jika pemerintah ikut campur dalam merumuskan fungsi, tugas dan wewenang media sebagai ekspresi tanggung jawabnya, maka sistem ini menyerupai otoritarian. Sebaliknya, jika para jurnalis dan media itu sendiri yang merumuskannya secara mandiri, maka sistem itu bergerak ke arah liberatarian.

Menurut Denis McQuaill (1987), dalam kerangka teoritis pengertian tanggung jawab untuk media, merupakan perkawinan dari konsep-konsep tentang; prinsip kebebasan dan pilihan individual, prinsip kebebasan media, dan prinsip kewajiban media terhadap masyarakat. Nampaknya sulit untuk menerapkan tarik-menarik kepentingan yang harus dijalankan sebagai tanggung jawab media, tetapi secara teoritis, Teori ini memiliki dua kerangka, yakni;

  1. Pengembangan lembaga publik, tetapi mandiri, untuk mengelola siaran, pengembangan mana pada gilirannya akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan cakupan dan kekuatan politis dari tanggung jawab sosial.
  2. Pengembangan profesionalisme lebih lanjut sebagai sarana untuk mencapai standar prestasi yang lebih tinggi, pada saat yang sama mempertahankan pengaturan oleh media sendiri. Menurut Smith dalam Mc Quail (1991), wujud pengembangan profesionalisme dalam sebuh negara diperlihatkan dari adanya instrumen pengawasan lembaga independen dan aturan yang berlaku ajeg dan adil seperti; kode etik jurnalistik, pengaturan periklanan, peraturan antimonopoli, pembentukan dewan pers, tinjauan berkala oleh komisi pengkajian, pengkajian perlementer, dan sistem subsidi pers.

Dalam kerangka teori tanggung jawab sosial, menurut Denis McQuail (1991) makna tanggung jawab media massa di batasi pada:

  1. Media menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat.
  2. Kewajiban media terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas, dan keseimbangan.
  3. Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
  4. Media seyogyanya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama.
  5. Media secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan membe-rikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
  6. Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
  7. Wartawan dan media profesional seyogyanya bertanggung jawab terhadap masyarakat dan juga kepada majikan serta pasar.

Dalam menjelaskan tanggung jawab media salah satu sudut pandang yang dikemukakan oleh pembaharu intelektual muslim pada era reformasi Islam di Iran, menyatakan bahwa media massa pada negara-negara Islam yang sedang berkembang memiliki tanggung jawab berbeda dengan negara-negara Barat pada umumnya.

Kunci poko pemikiran Aytullah Al-Uzhman Ali Khamanei (2004) menyatkan bahwa, tanggung jawab sosial media di samping membangun masyarakatnya juga memerangi propaganda-propaganda pers barat.

Tanggung jawab utama media massa adalah mengatur dan memberi petunjuk pemikiran, kebudayaan, akhlak dan tingkah laku kepada masyarakat guna membenahi dan menjauhkan pemikiran, kebudayaan, dan akhlak mereka dari pencemaran.

Menurut Ali Khamanei tujuan sebuah media massa yang memiliki komitmen dan tanggung jawab, sangat berbeda dengan tujuan sebuah media yang tugasnya mendukung kepentingan illegal pemiliknya. Media sebaliknya harus mampu meningkatkan taraf pengetahuan dan pandangan agama masyarakat, menguatkan akar keyakinan keagamaan, serta menyelamatkan opini umum dari pengaruh serangan budaya musuh yang merusak.

Dari rangkuman tanggung jawab media tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Media massa, dengan cara dan berbagai metode persuasi yang positif, harus aktif membina dan menghidupkan nilai-nilai mulia pada pribadi-pribadi masyarakat, seperti perhatian pada etika, senang bekerja, rasa tanggung jawab, rasa percaya diri, serta keberanian jiwa dan raga.
  2. Media harus mampu mendukung penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan akan meningkatkan tekhnologi, dan hal ini dengan sendiri akan memajukan taraf hidup manusia sekaligus memberikan kebaikan kepada negara. Konsekwensinya, di dalam negeri, terdapat berbagai aktivitas yang positif. Karena itu, kemajuan dan maraknya Ilmu pengetahuan juga menjadi salah satu tanggung jawab terpenting media-media massa ini.
  3. Selanjutnya media bertanggung jawab dalam menciptakan tempat-tempat atau wahana rekreasi dan permainan penting bagi masyarakat. sebuah media massa yang baik haruslah dapat menciptakan kegairahan dan kegembiraan yang sehat dalam masyarakat.
  4. Keadilan sosial juga merupakan point-point yang harus digarap oleh media massa untuk membangun komitmen dan menjunjung peradaban. Media harus mengajarkan kepada orang miskin untuk meraih sifat mulia dan menghilangkan perasaan rendah diri. Sedangkan kepada orang-orang kaya, media harus mampu mengajak untuk membantu fakir miskin.
  5. Dalam membangun perhatian masyarakat, media harus melakukannya secara konstruktif dan positif. Misalnya tidak melakukan paksaan.
  6. Meyakinkan khalayak bahwa pesan yang disajikan bersifat ilmiah atau mengedepankan rasio/logikan dan tidak membodohi mereka. Oleh karena itu riset adalah pekerjaan yang sangat penting dalam penyajian pesan oleh media. Pekerjaan yang didahului oleh riset atau dikerjakan atas dasar ilmu pengetahuan selalu memiliki kelebihan dan sisi menarik.
  7. Media tidak menyajikan program atau pesan yang seolah-olah mengedepankan seni, namun di lain pihak merendahkan martabat kemanusiaanya itu sendiri. Seni dalam media harus disajikan secara agung dan tidak menipu khalayak.

III. PENUTUP

Perbandingan kondisi yang ada tentang media massa di Indonesia dan kajian konseptual, menunjukkan sebuah kesenjangan yang nyata. Pers dan media Indonesia belum mampu menunjukkan profesionalisme peran dan tanggung jawabnya. Hal ini bisa dibuktikan dengan komentar atau suara dari parlemen dan komentar masyarakat.

Namun demikian tidak sepenuhnya pihak media massa atau pers sendiri yang disudutkan. Kondisi demikian di antaranya dipicu oleh kondisi internal pers atau media itu sendiri. Salah satu hal yang dibicarakan misalnya rendahnya tingkat pendidikan SDM media khususnya wartawan, rendahnya ngkat pendapatan atau gaji wartawan atau awak media, yang menyebabkan mereka tidak mampu menghadapi tuntutan kebutuhan dasar mereka. Selanjutnya lemahnya pengawasan dan kontrol masyarakat atas isi media, seolah-olah apa yang disajikan oleh media adalah benar atau bisa diterima.

Daftar Pustaka

Khamenei, Ayatullah Al-Uzhman Sayyid Ali, ”Karakteristik dan Strategi Media Terpacaya, Perspektif, www.irib.ir, 2005.

Andrie, Taufik, “Media Kepala Batu”, Pantau, www.pantau.or.id, 2005.

Lesmana, Tjipta, ”Kebebasan dan Tanggung Jawab Pers Harus Berimbang, Sinar Harapan, www.sinarharapan.co.id, 2005.

Littlejoh, Stephen W., Theories of Human Communication, California: Wadsworth, 1989.

McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Erlangga, 1991.

Severin, Werner J., dan James W. Tankard Jr., Communication Theories: Origins, Methodes, and Uses in the Mass Media, New York: Longman, 1991.


Actions

Information

3 responses

15 12 2008
moel

pak trima kasih atas referensinya…

tapi saya butuh tanggapan bapak…

apakah sensor diagap etis pak dalam komunikasi???

mohon di jawab dan kirim ke email saya….

mulyadi_riau@yahoo.co.id

terimakasih pak!

12 06 2010
Asnawin

terima kasih atas pemuatan makalahnya di dunia maya, mohon izin saya copy untuk amal dan kebaikan…. selamat berkarya terus…. wassalam – Asnawin

7 10 2013

Leave a comment