ETNOGRAFI KOMUNIKASI MANUSIA

3 02 2019

Teringat ketika penulis masih usia sekolah dasar, jika pulang sekolah atau mencari kayu bakar dan melewati kampung atau tempat tertentu, kami dilarang oleh orang tua untuk menyebut kata “ucing” (kucing) atau “maung” (harimau). Kedua kata itu harus diganti dengan “enyeng” atau ”raja” jika terpaksa harus digunakan pada saat ngobrol. Jikapun menyebut kata tersebut secara tidak sengaja atau malah disengaja, kamiakan mengalami nasib “sial” atau celaka. Mungkin tidak mendapatkan kayu bakar, luka karena sabetan golok saat memangkas kayu bakar, atau terpeleset saat memanggul. Hal itu merupakan kepercayaan yang diwariskan secara terus menerus sehingga tertanam dibenak semua anak-anak pada generasinya. Upaya menyembunyikan makna dalam rangka memberikan rasa hormat atau sopan kepada sesuatu seperti binatang buas, mahluk halus dan hal lainnya, dipercayai akan menyelamatkan seseorang atau diri pelaku dari musibah atau nasib sial selama diperjalanan atau melaksanakan ugas lain.
Hal itu juga berlaku untuk larangan menggunakan simbol-simbol warna, jenis pakaian, atau waktu baik dan waktu buruk yang dirahasiakan dan dipercayai oleh masyarakat lokal. Varietas bahasa rahasia, sebagai upaya menyembunyikan sebuah realitas tertentu dengan berbagai tujuan, telah diriset oleh Franklin pada masyarakat Papua Nugini, (Ibrahim, 1994: 118). Franklin menemukan tiga ragam bahasa rahasia yakni; Pertama, Ramulaagaa atau bahasa pandanus yang digunakan untuk melindungi orang yang mengadakan perjalanan di hutan rawa yang banyak dihuni hantu dan anjing liar. Orang-orang dalam perjalanan disarankan untuk menggunakan bahasa tersebut oleh para tetua atau tidak menggunakan bahasa sehari-hari (normal). Kedua, Mumu ne agaa atau bahasa berbisik yang digunakan ketika orang lain tidak diinginkan untuk mengetahui apa yang diucapkan, seperti teknik dalam perdagangan atau upaya pencurian atau kejahatan. Ketiga, Kudiri ne agaa atau bahasa rahasia yang digunakan oleh orang dalam (insider) secara terbatas.
Bahasa sebagai jembatan komunikasi, menemukan tempatnya secara subur jika dikaitkan dengan budaya dalam kajian Etnografi. Mulai dari ragam bahasa, klasifikasi bahasa, pola-pola bahasa, dan representasi simbol dalam bahasa non-verbal, menjadi kajian yang banyak dikupas ketika periset Etnografi mengupas kelompok atau komunitas tertentu. Bahasa hanyalah telaah Etnografi atas satu kelompok masyarakat.
Dengan berbagai faktor latar belakang budaya yang dimiliki, setiap kelompok menciptakan tindakan komunikasi dan berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa. Etnografi merupakan sebuah kajian yang luas terhadap kelompok. Etnografi berupaya menjelaskan semua dimensi masyarakat. Harris dan Johnson dalam Gunawan menyebut Etnografi “a portrait of a people”. Dalam konteks yang luas Etnografi menjelaskan dan menuliskan secara deksriptif elemen-elemen budaya seperti kebiasaan, kepercayaan, dan tindakan yang didasarkan pada informasi kolektif dari lapangan. (Gunawan, 2017).
Crang mengatakan Etnografi adalah cara atau jalan memahami berbagai kelompok. Peneliti bekerja secara terfokus kepada kelompok dengan empat upaya yang biasanya menggunakan pendekatan tatap muka (face-to-face) secara kuat dalam melakukan penekatan riset sosial; observasi partisipasi, wawancara, FGD dan kerja pengambilan gambar (foto atau videografi), (Crang, 2007).
Loshini Naidoo (Naidoo, 2012), berupaya merangkum berbagai pemahaman Etnografi dari barbagai pola-pola penelitian yang harus dilakukan dengan mengutif penjelasan dari para ahli Etnografi. Etnografier berupaya menangkap aspek-aspek cara manusia bertindak (bertingkah), seting menjadi artifisial (Atkinson and Hammersley, 1994). Di lain pihak, sebagai penelitian kualitatif (naturalist approach), Etnografi lebih interpretif, tidak dapat diklasifikasi dan diverivikasi melalui test (uji statistik), dan interpretasi milik peneliti adalah bagian dari proses riset (Mackenzie, 1994). Selanjutnya Naidoo juga mengutif Barbour bahwa tujuan sebuah riset Etnografi adalah memberikan deskripsi analitis pada kultur, dan ebih mengekplorasi elemen-elemen fenomena dari pada menguji hipotesis (Barbour, 2007), (Atkinson and Hammersley, 1994). Namun menurut Reeves dan kawan-kawan riset Etnografi juga bisa sampai pada tingkat penjelasan atau eksplanasi. Etnografi memiliki data yang berisi tindakan dan analisis yang menyediakan tafsir tentang makna yang dikerjakan oleh peneliti, menggunakan observasi, deskripsi dan eksplansi, (Reeves, Kuper & Hodges, 2008).
Etnografi sebagai strategi memahami masyarakat dan budaya, menyediakan konsep, perspektif, dan kerangka penelitian, sebagaimana halnya sebagai sebuah penelitian kualitatif yang dibedakan dengan kuantitatif, dimana melihat dunia secara berbeda, lebih subjektif, (Bajari, 2015). Demikian halnya juga, Etnografi telah memasuki ruang-ruang tindakan manusia dalam masyarakat atau sistem sosial secara luwes dan mendalam. Etnografi, selain menjelaskan masalah etnis secara utuh, telah masuk ke dalam ruang-ruang dan tindakan manusia dalam urusan politik (Clifford, 1995), kesehatan dan lingkungan (Salick & Byg, 2007), (Yenrizal, Bajari, Rahmat, & Iskandar, 2015), (Helen Kopnina & Eleanor Shoreman-Ouimet, 2017), perempuan dan gender (Darmastuti, Bajari, Martodirdjo, & Maryani, 2016), bahasa, linguistik dan analisis perilaku bahasa (Blommaert, 2014), ekonomi dan perilaku konsumen (Burrows, 2014), komunikasi(Troike, 2004), dan analisis mendalam pada ruang-ruang virtual dengan sistem relasi dan interaksi virtual melalui keragaman pertukaran bahasa, penciptaan bahasa, dan kolaborasi simbol dan makna dari absurd sampai yang diskenariokan, (Sade-Beck, 2004), Kozinets, 2015), (Troike, 2004), (Johnstone & Marcellino, 1998), (Kalou & Sadler-Smith, 2015), serta Etnografi agama dan sistem religi, (Morris, 2005), (Eller, 2007).
Ruang komunikasi memberikan lahan besar untuk menerapkan Etnografi sebagai penjelasan tindakan komunikasi atau bahasa (speech act). Studi tentang Etnografi Komunikasi tumbuh dengan baik dan melahirkan pola-pola atau struktur kajian yang lengkap dan baku. (D. Hymes, 1972), Troike, 2004), (Ray & Biswas, 2011) dan (Ibrahim, 1994). Demikian halnya dalam komunikasi melalui ruangr-ruang virtual telah menghasilkan ethnografi komunikasi virtual, nEtnografi, webnografi, dan kajian media sosial yang dinamis serta berwarna.

Daftar Pustaka
Bajari, A. (2015). Metode penelitian komunikasi; Prosedur, tren dan etika (2nd ed.). Bandung: Simbiosa Rekatama.
Blommaert, J. (2014). From mobility to complexity in sociolinguistic theory and method. Sociolinguistics: Theoretical Debates, (August), 1–25. https://doi.org/DOI: 10.1017/CBO9781107449787.012
Burrows, D. (2014). How to use ethnography for in-depth consumer insight – Marketing Week. Marketing Week, 1–15. Retrieved from https://www.marketingweek.com/2014/05/09/how-to-use-ethnography-for-in-depth-consumer-insight/
Clifford, J. & G. E. M. (1995). Writing Culture The Poetics and Politics of Ethnography (Vol. 7). Los Angles: University of California Press. https://doi.org/10.1525/nr.2012.16.2.29.29
Crang, M. & I. C. (2007). Doing Ethnographies. London: Sage Publication.
Darmastuti, R., Bajari, A., Martodirdjo, H. S., & Maryani, E. (2016). Samin women’s resistance movement against cement factory construction: A case of Sukolilo in Indonesia. Man in India, 96(12).
Eller, J. D. (2007). Introducing anthropology of religion: Culture to the ultimate. Introducing Anthropology of Religion: Culture to the Ultimate. https://doi.org/10.4324/9780203946244
Gunawan, I. (2017). Etnografi. Malang.
Gunn, M. C. (1980). Cultural Ecology: a Brief Overview. The Nebraska Anthropologist, 5, 19–27. Retrieved from http://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1148&context=nebanthro
Helen Kopnina, & Eleanor Shoreman-Ouimet. (2017). Handbook of Environmental Anthropology, (10213). https://doi.org/10.4324/9781315768946.ch3
Hilmanto, R. (2010). Etnoekologi. Lampung: Universitas Lampung.
Hymes, D. (1972). Models of the interaction of language and social life. In J. J. G. and D. Hymes (Ed.), Directions in sociolinguistics: The ethnography of communication. (pp. 35–71). New York: Holt, Rinehart & Winston.
Ibrahim, A. S. (1994). Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional.
Iswatiningsih, D. (1994). Etnografi Komunikasi : Sebuah Pendekatan Dalam Mengkaji, 38–45.
Johnstone, B., & Marcellino, W. M. (1998). Dell Hyomes and The Ethnography of Communication. Pittsburg.
Kalou, Z., & Sadler-Smith, E. (2015). Using Ethnography of Communication in Organizational Research. Organizational Research Methods, 18(4), 629–655. https://doi.org/10.1177/1094428115590662
Kaye, M. (1994). Communication Management. Sydney: Prentice Hall.
Linguistikid. (2016). Pengertian Masyarakat Tutur, (1916), 3. Retrieved from http://linguistikid.com/masyarakat-tutur-sosiolinguistik/
Martins, V. S., Schiavetti, A., & Souto, F. J. B. (2011). Ethnoecological knowledge of the artisan fishermen of octopi (octopus spp.) in the community of coroa vermelha (Santa Cruz Cabrália, Bahia). Anais Da Academia Brasileira de Ciencias, 83(2), 513–522. https://doi.org/10.1590/S0001-37652011000200011
Morris, B. (2005). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Social Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511814419
Naidoo, L. (2012). Ethnography: An Introduction to Definition and Method. An Ethnography of Global Landscapes and Corridors, 1–9. https://doi.org/10.5772/39248
Porter, R. E., & Samovar, L. A. (1990). Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi Antarbudaya. Komunikasi Antar Budaya, 12–39.
Ray, M., & Biswas, C. (2011). A study on Ethnography of communication : A discourse analysis with Hymes ‘ speaking model .’ Journal of Education and Practice, 2(6), 33–41.
Sade-Beck, L. (2004). Internet Ethnography: Online and Offline. International Journal of Qualitative Methods, 3(2), 45–51. https://doi.org/10.1177/160940690400300204
Salick, J., & Byg, A. (2007). Indigenous peoples and climate change. Tyndall Center for Climate Change Research, University of Oxford and Missouri Botanical Garden, 32(2), 1–80.
Suparmini, Setyawati, S., & Sumunar, D. R. (2016). Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal. Yogyakarta.
Suryani, I. (2014). Menggali keindahan dan kearifan lokal Suku Baduy (Studi kasus pada acara feature dokumenter “ Indonesia Bagus ” di Stasiun Televisi NET TV ). Musawa, 13(2), 179–193. Retrieved from http://moraref.or.id/record/view/32077
Troike, M. S. (2004). The Ethnography of Communication: An Introduction (review). Blackwell (Vol. 80). Blackwell. https://doi.org/10.1353/lan.2004.0214
Universitas Lampung. (2017). Etnoekologi. Lampung.
Yenrizal, Bajari, A., Rahmat, A., & Iskandar, J. (2015). The meaning and value attachment to natural symbols by farmers in a rural setting: An ethno-ecology communication study of rural farmers in Swarna Dwipe village of Muara Enim regency in South Sumatera. International Journal of Applied Engineering Research, 10(16).
Zaid, A. A. (2012). Bahasa dan Struktur Sosial. At Ta’dib, 7(1). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21111/at-tadib.v7i1.531

Tulisan lengkap silahkan kunjungi dan akses di:
https://www.researchgate.net/publication/330713286_MODEL_ETNOEKOLOGI_DAN_ETNOGRAFI_KOMUNIKASI_KONSTRUKSI_METODOLOGIS_INTERAKSI_MANUSIA_DENGAN_LINGKUNGAN