Kasus Ponari: Antara Anugrah dan Hak Anak

17 02 2009

Selasa, 10 Februari 2009 | 10:16 WIB Inilah fakta di Jombang, seorang bocah bernama Muhammad Ponari (10) yang mendapatkan batu ajaib seusai disambar petir kini menjadi fenomena yang mencengangkan. Ponari menjelma menjadi juru sembuh. Puluhan ribu orang berjejal di rumahnya di Kecamatan Megaluh, Jombang, Jawa Timur. Mereka berdatangan dari berbagai kota di Jawa Timur, bahkan hingga Jawa Tengah. Banyak orang berharap batu ajaib di tangan Ponari bisa menyembuhkan segala macam penyakit.

Potongan berita itu dikutif dari Kompas on-line tentang praktek pedukunan seorang anak yang bernama Ponari. Fakta tentang keajaiban batu yang didapatkan sehabis disambar petir memang menjadi titik dari daya tarik orang-orang untuk meminta berkah kepada anak itu. Bagaimanapun secara kultural, penyembuhan melalui batu,  sebagai perantara atau media penyembuhan sudah dikenal sajak lama di Indonesia, termasuk di manapun. Tanpa peristiwa atau melalui  peristiwa, membesar-besarkan nilai kekeramatan batu selalu menjadi daya pikat orang untuk mempercayai batu sebagai media.

Bagi Ponari dan keluarganya mendapatkan batu berkah yang mampu menyembuhkan penyakit, tentu membawa perubahan. Dari yang tadinya tidak dipercaya orang menjadi diyakini, dari yang tadinya terpinggirkan menjadi tempat bergantung, dan konsekuensi lain, dari yang tadinya susah mencari uang sekarang uang datang sendiri. Tinggal seberapa mau dan tahan melayani kemauan ratusan bahkan ribuan orang antri menunggu tangan Ponari mencelupkan jarinya agar mendapatkan berkah.  Sebuah peluang yang sulit didapatkan oleh kebanyakan orang. Tidak jauh berbeda tentunya dengan seorang anak yang mampu menangkap binatang yang berbeda dari kelajiman atau langka kemudian mendapatkan uang sawer dari yang melihat, tentu sebuah kewajaran.

Namun masalahnya sekarang, terlepas dari praktek pedukunan yang belum bisa dibuktikan kebenarannya, peristiwa ini menyangkut seorang anak dan batu yang menjadi media penyembuh dan pemberi berkah. Bisakah kita mengatakan identik fenomenanya dengan memajang seekor ular kemudian orang memberi sawer, memajang sepotong kayu dan memberikan uang receh, atau berdoa di depan batu pada malam Jum’at Kliwon kemudian penjaga memungut uang recehan. Argumen macam apapun tidak bisa diterima.

Melibatkan anak untuk mendapatkan atau mengais rejeki adalah intervensi. Menyuruh anak mencari dan mengemis adalah melanggar haknya. Serta membiarkan mereka lelah dan sakit untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa tentu tidak bisa dikatakan cara yang benar. Seluruhnya adalah eksploitasi atas hak-hak anak.

Mungkin kita harus berpikir bahwa sebenarnya kasus seperti ini adalah lazim. Mari kita pikirkan, mungkinkah sebenarnya kita juga mempraktekan hal yang sama dengan bungkus yang lain. Memaksa anak untuk memenuhi keinginan orang tua, jika anak memiliki kemampuan, biasa dalam kultur kita. Dalam kultur masyarakat paguyuban-agraris dan hegemonik, kuasa anak ada pada orang dewasa yang namanya orang tua. Orang tua maknanya bisa diperluas, paman, bibi, dan keluarga dekat lainya yang lebih dewasa biasa kita sebut orang tua. Mereka memiliki otoritas pada anak. Anak harus membantu dan menjadi bagian dari tenaga produksi untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Hakekatnya, itu dilakukan secara turun temurun. Namun sejauh itu dilakukan dalam kapasitas belajar, bermain, dan mendorong anak menentukan jalan hidupnya adalah sesuatu yang positif. Menyuruh anak dengan sedikit otoritatif untuk mengikuti perlombaan atau bekerja keras dalam belajar adalah pembelajaran. Menyertakan anak dalam proses seleksi dan audisi sebuah kontes idol, mungkin bagian dari arahan orang tua untuk membantu anak menyalurkan minatnya. Namun manakala menyuruh anak menandatangani kontrak kerja untuk sebuah produksi dan anak merasa tidak mampu itu harus dianggapa sebuah eksploitasi.

Pembatasan itu harus jelas manakala melihat hak anak dan perilaku eksploitatif orang tua. Memang orang tua di satu sisi memiliki otoritas, tetapi pada sisi yang lain potensi dan kemampuan anak harus menjadi pertimbangan. Mereka harus ditanya, mereka harus ditimbang kemampuannya, dan mereka kalau bisa terlibat dalam pengambilan keputusan. Memang rumit, tapi itulah yang harus ditempuh jika kita memang menginginkan kemaslahatan bagi anak.

Dalam kasus Ponari, semuanya harus berusaha untuk berpikir jernih. Tanya pada diri masing-masing, apakah kita sudah sewajarnya memperlakukan Ponari seperti itu? Menentengnya, menariknya ke sana-ke mari, dan  mungkin membiarkan dia kelelahan, tidakah itu eksploitatif? Betulkah uang yang dia kumpulkan akan menjadi bagian dari perjalanan tumbuh-kembangnya di masa yang akan datang? Tidakah juga kita tahu bahwa orang tuanya tidak setuju dan terjadi konflik kepentingan di antara orang dewasa di sekitarnya. Artinya ada muatan kepentingan orang dewasa untuk mengeksploitasi Ponari.  Jika demikian, masihkah kita akan mengatakan itu bagian dari berkah buat Ponari. Tidakah itu bukti dari “keserakahan” orang-orang dewasa disekitarnya untuk menarik keuntungan dari anak yang namanya Ponari.